Dia sangat menyukai hujan
Diantara semua musin di dunia ini, musim hujan adalah musim
favoritnya.
Dia bilang, karena hujan seperti tempatnya untuk bersembunyi. Hujan
cocok dengan suasana hati seperti apapun, mau senang, sedih, gelisah ataupun
marah.
“Aku juga suka dengan wangi saat hujan,” Yang ia maksud
adalah wangi tanah ketika dan setelah hujan turun. Benar-benar wangi yang khas
bukan ? Semua orang pasti bisa mengingat wangi tersebut sebagai perlambang
hujan.
“Yang terpenting, saat hujan aku bisa menyembunyikan
semuanya, bahkan tangisanku bisa tertutupi dengan sempurna,” ucapnya sambil
tersenyum lebar padaku.
“Bagi sebagian orang hal itu seperti tingkah seorang pengecut,
hanya berani menangis saat sedang hujan,” lanjutnya menjelaskan “Tapi menurutku
tidak begitu. Justru ketika menangis saat hujan kita tidak akan membuat orang lain
melihat kesedihan kita dan ikut khawatir akan hal tersebut”
Dia tetap berceloteh tentang hujan, tangis dan kesedihan,
diiringi tatapanku yang mengiba,
“Kau tahu, aku tidak suka dengan tatapanmu seperti itu !”
wajahnya berubah cemberut sambil melihat dengan sedikit marah padaku.
Ya, ya, aku tau tatapan seperti apa yang ia benci, tatapan
mengasihani.
“Aku bukan anak anjing yang terlantar dan tidak bisa apapun,
jadi berhenti menatapku dengan rasa kasihan seperti itu !”
Dia memang tidak pernah ingin dikasihani. Sesulit apapun
waktu yang sudah ia lalui, anti baginya untuk menerima belas kasihan orang
lain. Dia tegar atau setidaknya penampilan seperti itulah yang ingin ia perlihatkan
pada semua orang.
Tapi, ketegaran macam apa yang bisa ia bangun dari berbagai
kesengsaraan hidupnya ? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Usianya masih sangat
muda, namun kehidupan seolah tak pernah berbaik hati padanya.
Ditelantarkan, dilecehkan dan terbuang, hampir tidak ada
pernik kebahagiaan yang bisa membuatnya menikmati hidup ini.
“Siapa bilang aku tidak bahagia ? Aku bahagia, sangat
bahagia,” elaknya antusias ketika suatu kali aku bertanya tentang ketidak
bahagiaannya.
Dia gadis paling cantik yang pernah aku temui. Senyumannya
sangat lembut dan hangat. Kau bisa merasakan keramahan dan kebaikan hatinya,
bahkan hanya dengan memandang wajahnya saja. Gadis cantik yang memiliki kebahagiaan
paling aneh menurutku, kebahagiaan akan hujan.
“Hujan satu-satunya yang bisa kumiliki tanpa harus meminta
atau berebut dengan orang lain,” katanya suatu hari ketika aku bertanya mengapa
ia sangat memuja hujan.
“Hujan juga tidak akan pernah berubah, dengan bunyinya,
dengan wanginya, hujan akan selalu memberikan perasaan yang sama ketika aku
menjumpainya,” Dia berbicara dengan dilatarbelakangi suara hujan. Hujan
kesekian kalinya di pertengahan Februari ini.
“Rasanya semua orang pasti berharap mendapatkan kekasih yang
tidak pernah berubah bukan ? Nah, bagiku, kekasihku adalah hujan, karena ia
tidak pernah berubah,” matanya berubah menjadi sendu sesaat.
Aku penasaran, pernahkah di masa lalunya ia memiliki seorang
kekasih ? Ataukah jangan-jangan ia pernah terluka oleh orang yang sangat ia
cintai ?
“Nah, jadi, bolehkah aku sekarang keluar untuk bermain
hujan?” tanyanya sambil menatap memohon kepadaku.
Aku melihatnya dengan pandangan melarang yang pasti langsung
ia mengerti.
“Sebantaaar saja, tolonglah …. Aku bisa bermain di lapangan
belakang tanpa ada yang tahu, kau bisa mengawasiku, hanya sebentar saja, ya ?”
ekspresinya saat ini sangat lucu, seperti anak kecil yang merajuk untuk mendapatkan
permen kesenangannya. Kontras dengan usianya yang akan segera beranjak 22 tahun
di Maret nanti.
Melihat wajahnya yang penuh binar pengharapan seperti itu membuatku
tak tega. Dengan banyaknya penderitaan yang ia alami, hanya bermain hujan saja
sudah menjadi kemewahan tersendiri yang sulit ia dapatkan. Terlebih mengingst
kondisinya saat ini ….
Dia masih memandangku dengan tatapan-memelas-memohonnya, yang
membuat pertahananku runtuh dan akhirnya dengan perlahan kuanggukan kepalaku.
Yah, untuk urusan tanggung jawab akan aku pikirkan nanti. Karena melihat gadis
ini melomat kegirangan dan melesat menuju halaman belakang dengan lincah, membuatku
tidak menyesal akan persetujuanku tadi.
Penahkah kau melihat bunga yang mekar di pagi hari ? Indah
dan segar bukan ?
Maka seperti itulah gadis ini di bawah guyuran hujan. Ia
tersenyum, tertawa, melompat kecil bahkan sambil menari-nari kesenangan.
Kusadari bahwa kebahagiaan gadis ini tidaklah aneh, hanya saja sangat
sederhana, kebahagiaan akan hujan.
Tanpa kasih sayang keluarga, dengan kehormatan yang sudah
tercabik-cabik, dan waktu yang mulai menipis, gadis ini hanya ingin menikmati kebahagiaannya
sedikit lagi. Kebahagiaan yang tidak akan merugikan orang lain, yang tidak
harus memohon pada orang lain ataupun membuatnya mengorbankan diri.
Aku tersenyum melihat keriangan gadis itu di bawah hujan,
hingga kemudian mata kami beradu pandang, senyumku pun memudar. Sesaat, meski
ia menatapku dengan wajah penuh senyum, entah bagaimana aku bisa melihat aliran
kesedihan itu. Aliran air mata yang menyatu dengan lelehan air hujan di wajah
tirusnya.
Hujan turun untuk kesekian kalinya …
“Kau baru dari pemakaman ?” Suster Nia menyapaku saat aku
baru masuk ke kamar asrama, aku mengangguk pelan.
“Kau baik sekali mau menjadi satu-satunya kerabat untuk
mengurus pemakamannya” Suster Nia menepuk pelan pundakku.
“Tidak ada kerabat yang datang menjenguk dan mengurus pemakamannya,
aku pikir ini bisa menjadi bantuan terakhirku untuknya,” jelasku.
Suster Nia mengangguk maklum.
Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan begitu saja gadis
itu? Setelah seluruh hidupnya selalu diabaikan dan tak ada seorang pun yang
menjadi keluarga atau temannya.
Gadis dengan luka yang sangat dalam, melebihi luka fisik
yang dideritanya ketika pertama kali datang ke rumah sakit tempatku bekerja.
Dibuang oleh orang tunya, dijadikan pelacur saat masih anak-anak, disiksa jiwa,
raga serta dihancurkan harga dirinya. Bahkan saat diawal merawatnya gadis itu
tidak terlihat hidup, hanya ada sinar kepasrahan dan isyarat menyerah dalam matanya.
Menyerah pada apapun yang akan dilakukan dunia ini padanya.
Hanya saat hujan turun, hanya pada saat itu saja sang gadis
terlihat seperti manusia normal. Tersenyum kecil, memandang hujan dan … lebih
hidup. Namun, lagi-lagi hidup tidak memberikannya waktu untuk bernapas dengan
lega. Tumor stadium 4 diketahui sudah menyebar di otaknya, membuat waktu gadis
itu di dunia bergantung pada perkiraan sang dokter.
Dan pagi tadi, waktu yang tersisa bagi sang gadis telah
usai. Semenjak pagi juga hujan turun tak henti, bukan hujan panas yang menyakitkan
atau hujan badai yang mengerikan, namun hujan yang menyejukkan. Hujan yang akan
memberi rasa damai dan menyelimuti dari rasa takut.
Sekarang, gadis itu tidak perlu khwatir lagi, karena kini ia
bisa menari di bawah hujan dengan sebebas-bebasnya, tanpa ada rasa sakit, terluka
ataupun air mata …
(24 April 2017)
pic from Google
No comments :
Post a Comment