Sunday, April 30, 2017

Gadis Hujan




Dia sangat menyukai hujan

Diantara semua musin di dunia ini, musim hujan adalah musim favoritnya.

Dia bilang, karena hujan seperti tempatnya untuk bersembunyi. Hujan cocok dengan suasana hati seperti apapun, mau senang, sedih, gelisah ataupun marah.

“Aku juga suka dengan wangi saat hujan,” Yang ia maksud adalah wangi tanah ketika dan setelah hujan turun. Benar-benar wangi yang khas bukan ? Semua orang pasti bisa mengingat wangi tersebut sebagai perlambang hujan.

“Yang terpenting, saat hujan aku bisa menyembunyikan semuanya, bahkan tangisanku bisa tertutupi dengan sempurna,” ucapnya sambil tersenyum lebar padaku.

“Bagi sebagian orang hal itu seperti tingkah seorang pengecut, hanya berani menangis saat sedang hujan,” lanjutnya menjelaskan “Tapi menurutku tidak begitu. Justru ketika menangis saat hujan kita tidak akan membuat orang lain melihat kesedihan kita dan ikut khawatir akan hal tersebut”
Dia tetap berceloteh tentang hujan, tangis dan kesedihan, diiringi tatapanku yang mengiba,

“Kau tahu, aku tidak suka dengan tatapanmu seperti itu !” wajahnya berubah cemberut sambil melihat dengan sedikit marah padaku.

Ya, ya, aku tau tatapan seperti apa yang ia benci, tatapan mengasihani.

“Aku bukan anak anjing yang terlantar dan tidak bisa apapun, jadi berhenti menatapku dengan rasa kasihan seperti itu !”

Dia memang tidak pernah ingin dikasihani. Sesulit apapun waktu yang sudah ia lalui, anti baginya untuk menerima belas kasihan orang lain. Dia tegar atau setidaknya penampilan seperti itulah yang ingin ia perlihatkan pada semua orang.

Tapi, ketegaran macam apa yang bisa ia bangun dari berbagai kesengsaraan hidupnya ? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Usianya masih sangat muda, namun kehidupan seolah tak pernah berbaik hati padanya.

Ditelantarkan, dilecehkan dan terbuang, hampir tidak ada pernik kebahagiaan yang bisa membuatnya menikmati hidup ini.

“Siapa bilang aku tidak bahagia ? Aku bahagia, sangat bahagia,” elaknya antusias ketika suatu kali aku bertanya tentang ketidak bahagiaannya.

Dia gadis paling cantik yang pernah aku temui. Senyumannya sangat lembut dan hangat. Kau bisa merasakan keramahan dan kebaikan hatinya, bahkan hanya dengan memandang wajahnya saja. Gadis cantik yang memiliki kebahagiaan paling aneh menurutku, kebahagiaan akan hujan.

“Hujan satu-satunya yang bisa kumiliki tanpa harus meminta atau berebut dengan orang lain,” katanya suatu hari ketika aku bertanya mengapa ia sangat memuja hujan.

“Hujan juga tidak akan pernah berubah, dengan bunyinya, dengan wanginya, hujan akan selalu memberikan perasaan yang sama ketika aku menjumpainya,” Dia berbicara dengan dilatarbelakangi suara hujan. Hujan kesekian kalinya di pertengahan Februari ini.

“Rasanya semua orang pasti berharap mendapatkan kekasih yang tidak pernah berubah bukan ? Nah, bagiku, kekasihku adalah hujan, karena ia tidak pernah berubah,” matanya berubah menjadi sendu sesaat.

Aku penasaran, pernahkah di masa lalunya ia memiliki seorang kekasih ? Ataukah jangan-jangan ia pernah terluka oleh orang yang sangat ia cintai ?

“Nah, jadi, bolehkah aku sekarang keluar untuk bermain hujan?” tanyanya sambil menatap memohon kepadaku.

Aku melihatnya dengan pandangan melarang yang pasti langsung ia mengerti.

“Sebantaaar saja, tolonglah …. Aku bisa bermain di lapangan belakang tanpa ada yang tahu, kau bisa mengawasiku, hanya sebentar saja, ya ?” ekspresinya saat ini sangat lucu, seperti anak kecil yang merajuk untuk mendapatkan permen kesenangannya. Kontras dengan usianya yang akan segera beranjak 22 tahun di Maret nanti.

Melihat wajahnya yang penuh binar pengharapan seperti itu membuatku tak tega. Dengan banyaknya penderitaan yang ia alami, hanya bermain hujan saja sudah menjadi kemewahan tersendiri yang sulit ia dapatkan. Terlebih mengingst kondisinya saat ini ….

Dia masih memandangku dengan tatapan-memelas-memohonnya, yang membuat pertahananku runtuh dan akhirnya dengan perlahan kuanggukan kepalaku. Yah, untuk urusan tanggung jawab akan aku pikirkan nanti. Karena melihat gadis ini melomat kegirangan dan melesat menuju halaman belakang dengan lincah, membuatku tidak menyesal akan persetujuanku tadi.

Penahkah kau melihat bunga yang mekar di pagi hari ? Indah dan segar bukan ?
Maka seperti itulah gadis ini di bawah guyuran hujan. Ia tersenyum, tertawa, melompat kecil bahkan sambil menari-nari kesenangan. Kusadari bahwa kebahagiaan gadis ini tidaklah aneh, hanya saja sangat sederhana, kebahagiaan akan hujan.

Tanpa kasih sayang keluarga, dengan kehormatan yang sudah tercabik-cabik, dan waktu yang mulai menipis, gadis ini hanya ingin menikmati kebahagiaannya sedikit lagi. Kebahagiaan yang tidak akan merugikan orang lain, yang tidak harus memohon pada orang lain ataupun membuatnya mengorbankan diri.

Aku tersenyum melihat keriangan gadis itu di bawah hujan, hingga kemudian mata kami beradu pandang, senyumku pun memudar. Sesaat, meski ia menatapku dengan wajah penuh senyum, entah bagaimana aku bisa melihat aliran kesedihan itu. Aliran air mata yang menyatu dengan lelehan air hujan di wajah tirusnya.


Hujan turun untuk kesekian kalinya …

“Kau baru dari pemakaman ?” Suster Nia menyapaku saat aku baru masuk ke kamar asrama, aku mengangguk pelan.

“Kau baik sekali mau menjadi satu-satunya kerabat untuk mengurus pemakamannya” Suster Nia menepuk pelan pundakku.

“Tidak ada kerabat yang datang menjenguk dan mengurus pemakamannya, aku pikir ini bisa menjadi bantuan terakhirku untuknya,” jelasku.

Suster Nia mengangguk maklum.

Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan begitu saja gadis itu? Setelah seluruh hidupnya selalu diabaikan dan tak ada seorang pun yang menjadi keluarga atau temannya.

Gadis dengan luka yang sangat dalam, melebihi luka fisik yang dideritanya ketika pertama kali datang ke rumah sakit tempatku bekerja. Dibuang oleh orang tunya, dijadikan pelacur saat masih anak-anak, disiksa jiwa, raga serta dihancurkan harga dirinya. Bahkan saat diawal merawatnya gadis itu tidak terlihat hidup, hanya ada sinar kepasrahan dan isyarat menyerah dalam matanya. Menyerah pada apapun yang akan dilakukan dunia ini padanya.

Hanya saat hujan turun, hanya pada saat itu saja sang gadis terlihat seperti manusia normal. Tersenyum kecil, memandang hujan dan … lebih hidup. Namun, lagi-lagi hidup tidak memberikannya waktu untuk bernapas dengan lega. Tumor stadium 4 diketahui sudah menyebar di otaknya, membuat waktu gadis itu di dunia bergantung pada perkiraan sang dokter.

Dan pagi tadi, waktu yang tersisa bagi sang gadis telah usai. Semenjak pagi juga hujan turun tak henti, bukan hujan panas yang menyakitkan atau hujan badai yang mengerikan, namun hujan yang menyejukkan. Hujan yang akan memberi rasa damai dan menyelimuti dari rasa takut.
Sekarang, gadis itu tidak perlu khwatir lagi, karena kini ia bisa menari di bawah hujan dengan sebebas-bebasnya, tanpa ada rasa sakit, terluka ataupun air mata …


(24 April 2017)

pic from Google

No comments :

Post a Comment