Saturday, July 25, 2015

[Cerpen] Pandangan Luka


Di ujung jalan itu, jauh matanya menjatuhkan pandangan. Dengan menerawang. Entah apa yang dipikirkan atau dibayangkannya, yang jelas bukan tentang trotoar yang dipenuhi pejalan kaki yang bersliweran disana. Pikirannya jelas jauh ke tempat lain, atau mungkin masa yang lain.
“Kau tau siapa gadis itu ?”
Andre menepuk pundakku, sambil kemudian duduk dihadapanku, sedikit menghalangi penglihatanku pada gadis itu.
“Tidak, kau tau ?” tanyaku balik
“Entahlah, gadis itu hanya pengunjung tetap, diwaktu dan tempat yang itu-itu saja, bahkan ia pun memesan makanan yang setiap hari”
Penjelasan Andre mengalihkan perhatianku, ganti menatap wajahnya  dengan rasa ingin tahu.
“Serius ? sudah berapa kali dia kemari ?”
“Mmmm, sudah sejak 2 minggu yang lalu, dan sejak itu dia tidak pernah absen untuk mengunjungi kafe ini “
Andre menyeruput kopinya, wajahnya kelihatan segar ketimbang setelah bermain futsal tadi.
“Lalu kira-kira berapa lama dia berdiam diri seperti itu ?”
“Satu jam, dan artinya kamu hanya punya waktu 15 menit lagi untuk menikmati wajah manis itu”
Kalimat terakhir Andre jelas membuatku mengernyitkan kening,
“Hei, jangan melihatku seperti itu, kamu sudah putus dari nia, jadi tidak masalah kalau melirik wanita lain kan ?” katanya dengan gelak kecil
“Aku bukan tipe playboy seperti kamu, Ndre” dengusku
“Loh, tapi dia memang manis kan ?”
Oke, aku akui wanita ini memang mempunyai wajah yang enak untuk dipandang, selain kesenduan dimatanya, semua yang tergambar diwajahnya adalah manis untuk dilihat.
Kemudian wanita itu beranjak, tepat dimenit seperti yang diperkirakan Andre. Ia berjalan dengan wajah yang tertunduk,  rambut panjangnyanya tergerai sebagian menutupi wajahnya. Dan ketika wanita itu melintas di depan kaca Café, tepat ditempat aku duduk , aku tidak mampu melihat ekspresi wanita itu, ia berjalan begitu cepat.


Hari itu aku kembali ke café lagi. Di jam yang lebih awal dari kemarin, karena kalau wanita itu berdiam diri di café selama satu jam seperti yang dikatakan Andre, artinya aku harus datang setidaknya setengah jam lebih awal dari yang kemarin. dan benar saja, baru aku memesan secangkir kopi wanita itu terihat memasuki café dan menuju tempat duduknya yang biasa. Kali ini rambutnya dibuat kuncir kuda, dengan pakaian dan riasan seperti wanita modern pada umumnya dia terlihat seperti wanita biasa. Namun kemudian, saat ia mulai menatap ke luar jendela café, ia berubah seperti wanita kesepian yang rapuh, dan pandangan matany benar-benar mengartikan semua itu.
Apa yang ia sedihkan ? apa yang menjadi beban dalam hatinya ?
“mas, kopinya”
Tono, pelayan café mengejutkanku dengan kepulan kopi pesananku
“Mas, naksir mbak Rike ya, kok dari tadi ngeliatin terus ?” Tono tersenyum simpul
“Apaan sih kamu ini Ton” kataku, tapi, tunggu dulu …
“Mmm, siapa tadi Ton, namanya ?”
“Siapa ? Oh, mbk Rike? Yang duduk diseberang meja itu kan mas ? yang hobinya ngeliatin jalanan ?”
“Kamu ko bisa tau namanya ?”
“Ya iya mas, dia pernah ninggalin dompetnya disini, saya yang menemukannya, pas saya liat dompetnya kan ada KTPnya, jadi saya kembalikan lagi pas besoknya mbak Rike dating” jelas Tono
Aku manggut-manggut, Rike ya ….
Datang ke café setiap hari, dijam yang sama, tempat duduk yang sama, pesanan yang sama, dan kemudian hanya diam memandang ke jalanana luar, wanita yang aneh, pikirku. Namun kemudian aku merasa geli sendiri, bukankah yang lebih aneh malah aku sendiri ? Untuk apa aku merasa begitu penasaran dengan wanita itu, bahkan rela untuk duduk dicafe ini selama lebih 1 jam hanya untuk memperhatikannya ??
“Kamu lagi cari pelarian tuh” Andre menyimpulkan dengan sadis saat minggu kemarin dia tau bahwa aku mengambil cuti panjang, tepat setelah putus dari Nia.
“Pelarian ? aku bukan anak labil yang lari kesana kemari karena kehilangan mainannya !” ketusku
“Hushh !! berarti Nia mainan gtu ??”
Aku diam, bukan, Nia bukan mainan, tapi aku yang malah jadi mainannya. Tpi tidak mungkin aku mengatakan itu pada Andre, setidaknya aku masih punya harga diri sebagai laki-laki yang diduakan oleh kekasihnya.
Aku terluka, itu pasti, karena 4 tahun yang kujalani bahkan dengan mimpi-mimpi untuk berakhir disaat indah dengan Nia  hancur berantakan begitu saja. Aku merukui diriku sendiri karena kebodohanku. Tapi aku bukan seorang yang putus asa. Rasa sakit hati ini memang begitu dalam tapi kewarasnku pun masih kuat. Aku belajar untuk merelakan, lagipula aku punya prinsip untuk tidak akan memaksakan jika memang aku tidak berhak untuk memiliki, dan menurut logikaku, Nia bukanlah hal yang patut kupaksakan untuk dapat kumiliki.
Satu jam berlalu, rupanya aku mulai tertular oleh keanehan wanita itu, duduk diam dengan pandangan ke satu arah, sedangkan pikiranku melayang-layang ke masa silam. Aku menghela nafas panjang. Kemudian  terlihat wanita itu berdiri, dan meninggalkan café sama seperti kemarin.


Hari ini kembali aku memperhatikan sosok wanita itu. Sudah satu jam berlalu, dan ia sama sekali tidak mengubah posisi duduknya. Yang lagi-lagi membuatku bertanya, kenangan apa didalam pikiranhya itu, yang mampu membuat ia menutup telinga dan matanya dari pandangan orang di dunia nyata ini ?
Tiba-tiba sesosok pria muncul menghampirinya. Duduk didepan wanita itu dan mengusik lamunannya. Terlihat wanita itu terkejut dengan kedatangan pria itu, dan kemudian keterkejutan itu berubah menjadi amarah dimatanya.
Dan sesaat kemudian keributan kecil terjadi. Pria itu terlihat seperti memaksa wanita itu untuk ikut dengannya, tapi jelas wanita itu menolak. Dan terjadilah adegan tarik menarik seperti layaknya sinetron drama keluarga. Para tamu yang ada dicafe itu mulai memperhatikan mereka, merasa ada tontonan kecil yang menarik. Aku sendiri sebenarnya ingin melerai adegan itu, minimal sebagai sahabat dari Andre yang notabene pemilik café ini, aku tidak ingin ada keributan terjadi, dan juga karena merasa kasihan dengan wanita itu.
Namun sebelum aku sempat bangkit dari tempat dudukku, muncullah seorang ibu-ibu setengah baya, bersama dengan seorang gadis muda yang rupannya mirip dengan wanita itu, menghampiri mereke berdua. Dan entah kenapa ketika ibu-ibu itu muncul, wanita itu menjadi luruh, ia lunglai dipelukan ibu itu sambil menangis, dan ibu itu menenangkannya dengan penuh kasih. Perlahan ia membawa wanita itu pergi dari café, bersama dengan pria tadi dan gadis muda.
Aku kembali hanya mampu melihat adegan itu, aku terus memperhatikan mereka hingga mereka lewat dibalik kaca café, tempat aku duduk, dan untuk pertama kalinya pandanganku beradu dengan wanita itu. Layaknya gerakan slow motion, aku melihat ke dalam matanya yang penuh linangan air mata, dan tatapannya itu …


Namanya Rike Dewayani, umur 25 tahun, dan bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan swasta di kota ini. Tapi itu dulu sebelum dia dengan tiba-tiba mengajukan surat pengunduran diri 2 bulan yang lalu dan lebih memilih sebagai seorang pelamun disebuah café .
“Kak Rike adalah orang yang ceria, dia tipe yang aktif dan tidak bisa diam, dan dia oang yang sangat mencintai alam, sama seperti almarhum kak Wira, calon suaminya …”
Ria, gadis muda yang tadi datang bersam ibu-ibu, yang kemudian kuketahui adalah ibu dari Rike,  datang kembali ke café untuk meminta maaf akan keributan yang terjadi tadi. Namun karena andre sang pemilik café tidak ada ditempat, akupun memberanikan diri untuk mewakilinya, dan berbicara dengan gadis muda ini, dan juga sebenarnya aku ingin bertanya banyak hal tentang wanita, ah, Rike maksudku, pada adiknya ini.
“Calon suaminya ?” tanyaku sedikit bingung
“Kak Wira meninggal saat pendakian bersama dengan kak Rike, mereka tersesat dan terpisah dari kelompok pendaki yang lain. Mereka berdua ditemukan oleh tim SAR 3 hari berikutnya, sepertinya mereka terperosok dalam jurang. Kak Rike dapat bertahan tapi saying kak Wira ….” Gadis itu tidak melanjutkannya, mungkin karena keharuan yang tiba-tiba muncul. Aku tertunduk,
“Dan karena peristiwa itu kak Rike menjadi shock” lanjut Ria, “Dia merasa ini semua salahnya, karena ia yang memaksa untuk melakukan pendakian itu tepat seminggu sebelum hari pernikahan mereka, apalagi ketika mereka ditemukan, tangan kak Wira menggenggam erat tangan kak Rike yang pingsan, seolah ia ingin sekali melindungi kak Rike”
“Lalu, apa yang sebenarnya ia lakukan di café ini setiap harinya?”
Ria menghela nafasnya, “Café ini adalah tempat pertama kali mereka bertemu, disini banyak kenangan yang tercipta diantara mereka, aku yakin kak Rike kemari untuk mengenang semua itu … “
“Kasihan, sebegitu dalamnya kesedihannya, mungkin sebaiknya kalian biarakan saja untuk sementara ia datang ke café ini, mungkin dengan begitu kesedihannya sedikit demi sedikit terobati …”
Ria menatapku dengan pandangan yang aneh,
“Maaf mas, tapi tidak mungkin kami membiarkan begitu saja mbak Rike berjalan-jalan dengan bebas untuk saat ini … “
“Kenapa tidak ?”
Ria seperti bingung untuk menjawab pertanyaanku,
“Karena .. karena mbak rike harus menjalani pengobatan di rumah sakit jiwa, ia benar-benar mengalami depresi berat, bahkan beberapa kali pernah mencoba untuk mebunuh dirinya, jadi, bagaiamana mungkin kami membiarkan dia pergi ke luar begitu saja ?”
Entah aku harus berkomentar apa, jadi  … Rike saat ini sedang … ??
Aku benar-benar merasa kasihan, dia begitu mencintai kekasihnya hingga tidak mampu mempertahankan kewarasannya, luka hatinya benar-benar parah.
Dan kemudian aku ingat lagi pandangannya saat terakhir kami bertemu. Pandangan itu pernah aku miliki beberapa hari yang lalu, pandangan penuh luka, pandangan yang berhasil aku sembunyikan, aku tekan hingga menghilang tanpa orang lain ketahui, tapi rupanya Rike begitu rapuh, hingga harus mengalah dan membiarkan pandangan luka itu menguasai jiwa dan raganya …..







No comments :

Post a Comment