Di ujung jalan itu,
jauh matanya menjatuhkan pandangan. Dengan menerawang. Entah apa yang
dipikirkan atau dibayangkannya, yang jelas bukan tentang trotoar yang dipenuhi
pejalan kaki yang bersliweran disana. Pikirannya jelas jauh ke tempat lain,
atau mungkin masa yang lain.
“Kau tau siapa gadis
itu ?”
Andre menepuk pundakku,
sambil kemudian duduk dihadapanku, sedikit menghalangi penglihatanku pada gadis
itu.
“Tidak, kau tau ?”
tanyaku balik
“Entahlah, gadis itu
hanya pengunjung tetap, diwaktu dan tempat yang itu-itu saja, bahkan ia pun
memesan makanan yang setiap hari”
Penjelasan Andre mengalihkan
perhatianku, ganti menatap wajahnya
dengan rasa ingin tahu.
“Serius ? sudah berapa
kali dia kemari ?”
“Mmmm, sudah sejak 2
minggu yang lalu, dan sejak itu dia tidak pernah absen untuk mengunjungi kafe
ini “
Andre menyeruput
kopinya, wajahnya kelihatan segar ketimbang setelah bermain futsal tadi.
“Lalu kira-kira berapa
lama dia berdiam diri seperti itu ?”
“Satu jam, dan artinya
kamu hanya punya waktu 15 menit lagi untuk menikmati wajah manis itu”
Kalimat terakhir Andre
jelas membuatku mengernyitkan kening,
“Hei, jangan melihatku
seperti itu, kamu sudah putus dari nia, jadi tidak masalah kalau melirik wanita
lain kan ?” katanya dengan gelak kecil
“Aku bukan tipe playboy
seperti kamu, Ndre” dengusku
“Loh, tapi dia memang
manis kan ?”
Oke, aku akui wanita
ini memang mempunyai wajah yang enak untuk dipandang, selain kesenduan
dimatanya, semua yang tergambar diwajahnya adalah manis untuk dilihat.
Kemudian
wanita itu beranjak, tepat dimenit seperti yang diperkirakan Andre. Ia berjalan
dengan wajah yang tertunduk, rambut
panjangnyanya tergerai sebagian menutupi wajahnya. Dan ketika wanita itu
melintas di depan kaca Café, tepat ditempat aku duduk , aku tidak mampu melihat
ekspresi wanita itu, ia berjalan begitu cepat.
Hari itu aku kembali ke
café lagi. Di jam yang lebih awal dari kemarin, karena kalau wanita itu berdiam
diri di café selama satu jam seperti yang dikatakan Andre, artinya aku harus
datang setidaknya setengah jam lebih awal dari yang kemarin. dan benar saja,
baru aku memesan secangkir kopi wanita itu terihat memasuki café dan menuju
tempat duduknya yang biasa. Kali ini rambutnya dibuat kuncir kuda, dengan
pakaian dan riasan seperti wanita modern pada umumnya dia terlihat seperti
wanita biasa. Namun kemudian, saat ia mulai menatap ke luar jendela café, ia
berubah seperti wanita kesepian yang rapuh, dan pandangan matany benar-benar
mengartikan semua itu.
Apa yang ia sedihkan ?
apa yang menjadi beban dalam hatinya ?
“mas, kopinya”
Tono, pelayan café
mengejutkanku dengan kepulan kopi pesananku
“Mas, naksir mbak Rike
ya, kok dari tadi ngeliatin terus ?” Tono tersenyum simpul
“Apaan sih kamu ini
Ton” kataku, tapi, tunggu dulu …
“Mmm, siapa tadi Ton,
namanya ?”
“Siapa ? Oh, mbk Rike?
Yang duduk diseberang meja itu kan mas ? yang hobinya ngeliatin jalanan ?”
“Kamu ko bisa tau
namanya ?”
“Ya iya mas, dia pernah
ninggalin dompetnya disini, saya yang menemukannya, pas saya liat dompetnya kan
ada KTPnya, jadi saya kembalikan lagi pas besoknya mbak Rike dating” jelas Tono
Aku manggut-manggut,
Rike ya ….
Datang ke café setiap
hari, dijam yang sama, tempat duduk yang sama, pesanan yang sama, dan kemudian
hanya diam memandang ke jalanana luar, wanita yang aneh, pikirku. Namun
kemudian aku merasa geli sendiri, bukankah yang lebih aneh malah aku sendiri ?
Untuk apa aku merasa begitu penasaran dengan wanita itu, bahkan rela untuk
duduk dicafe ini selama lebih 1 jam hanya untuk memperhatikannya ??
“Kamu lagi cari
pelarian tuh” Andre menyimpulkan dengan sadis saat minggu kemarin dia tau bahwa
aku mengambil cuti panjang, tepat setelah putus dari Nia.
“Pelarian ? aku bukan
anak labil yang lari kesana kemari karena kehilangan mainannya !” ketusku
“Hushh !! berarti Nia
mainan gtu ??”
Aku diam, bukan, Nia
bukan mainan, tapi aku yang malah jadi mainannya. Tpi tidak mungkin aku
mengatakan itu pada Andre, setidaknya aku masih punya harga diri sebagai
laki-laki yang diduakan oleh kekasihnya.
Aku terluka, itu pasti,
karena 4 tahun yang kujalani bahkan dengan mimpi-mimpi untuk berakhir disaat
indah dengan Nia hancur berantakan
begitu saja. Aku merukui diriku sendiri karena kebodohanku. Tapi aku bukan
seorang yang putus asa. Rasa sakit hati ini memang begitu dalam tapi kewarasnku
pun masih kuat. Aku belajar untuk merelakan, lagipula aku punya prinsip untuk tidak
akan memaksakan jika memang aku tidak berhak untuk memiliki, dan menurut
logikaku, Nia bukanlah hal yang patut kupaksakan untuk dapat kumiliki.
Satu
jam berlalu, rupanya aku mulai tertular oleh keanehan wanita itu, duduk diam
dengan pandangan ke satu arah, sedangkan pikiranku melayang-layang ke masa
silam. Aku menghela nafas panjang. Kemudian
terlihat wanita itu berdiri, dan meninggalkan café sama seperti kemarin.
Hari ini kembali aku
memperhatikan sosok wanita itu. Sudah satu jam berlalu, dan ia sama sekali
tidak mengubah posisi duduknya. Yang lagi-lagi membuatku bertanya, kenangan apa
didalam pikiranhya itu, yang mampu membuat ia menutup telinga dan matanya dari
pandangan orang di dunia nyata ini ?
Tiba-tiba sesosok pria
muncul menghampirinya. Duduk didepan wanita itu dan mengusik lamunannya.
Terlihat wanita itu terkejut dengan kedatangan pria itu, dan kemudian
keterkejutan itu berubah menjadi amarah dimatanya.
Dan sesaat kemudian
keributan kecil terjadi. Pria itu terlihat seperti memaksa wanita itu untuk
ikut dengannya, tapi jelas wanita itu menolak. Dan terjadilah adegan tarik
menarik seperti layaknya sinetron drama keluarga. Para tamu yang ada dicafe itu
mulai memperhatikan mereka, merasa ada tontonan kecil yang menarik. Aku sendiri
sebenarnya ingin melerai adegan itu, minimal sebagai sahabat dari Andre yang
notabene pemilik café ini, aku tidak ingin ada keributan terjadi, dan juga
karena merasa kasihan dengan wanita itu.
Namun sebelum aku
sempat bangkit dari tempat dudukku, muncullah seorang ibu-ibu setengah baya,
bersama dengan seorang gadis muda yang rupannya mirip dengan wanita itu,
menghampiri mereke berdua. Dan entah kenapa ketika ibu-ibu itu muncul, wanita
itu menjadi luruh, ia lunglai dipelukan ibu itu sambil menangis, dan ibu itu
menenangkannya dengan penuh kasih. Perlahan ia membawa wanita itu pergi dari
café, bersama dengan pria tadi dan gadis muda.
Aku kembali hanya mampu
melihat adegan itu, aku terus memperhatikan mereka hingga mereka lewat dibalik
kaca café, tempat aku duduk, dan untuk pertama kalinya pandanganku beradu
dengan wanita itu. Layaknya gerakan slow motion, aku melihat ke dalam matanya
yang penuh linangan air mata, dan tatapannya itu …
Namanya Rike Dewayani,
umur 25 tahun, dan bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan swasta di kota
ini. Tapi itu dulu sebelum dia dengan tiba-tiba mengajukan surat pengunduran
diri 2 bulan yang lalu dan lebih memilih sebagai seorang pelamun disebuah café
.
“Kak Rike adalah orang
yang ceria, dia tipe yang aktif dan tidak bisa diam, dan dia oang yang sangat
mencintai alam, sama seperti almarhum kak Wira, calon suaminya …”
Ria, gadis muda yang
tadi datang bersam ibu-ibu, yang kemudian kuketahui adalah ibu dari Rike, datang kembali ke café untuk meminta maaf
akan keributan yang terjadi tadi. Namun karena andre sang pemilik café tidak
ada ditempat, akupun memberanikan diri untuk mewakilinya, dan berbicara dengan
gadis muda ini, dan juga sebenarnya aku ingin bertanya banyak hal tentang
wanita, ah, Rike maksudku, pada adiknya ini.
“Calon suaminya ?” tanyaku
sedikit bingung
“Kak Wira meninggal
saat pendakian bersama dengan kak Rike, mereka tersesat dan terpisah dari kelompok
pendaki yang lain. Mereka berdua ditemukan oleh tim SAR 3 hari berikutnya,
sepertinya mereka terperosok dalam jurang. Kak Rike dapat bertahan tapi saying
kak Wira ….” Gadis itu tidak melanjutkannya, mungkin karena keharuan yang
tiba-tiba muncul. Aku tertunduk,
“Dan karena peristiwa
itu kak Rike menjadi shock” lanjut Ria, “Dia merasa ini semua salahnya, karena
ia yang memaksa untuk melakukan pendakian itu tepat seminggu sebelum hari
pernikahan mereka, apalagi ketika mereka ditemukan, tangan kak Wira menggenggam
erat tangan kak Rike yang pingsan, seolah ia ingin sekali melindungi kak Rike”
“Lalu, apa yang
sebenarnya ia lakukan di café ini setiap harinya?”
Ria menghela nafasnya,
“Café ini adalah tempat pertama kali mereka bertemu, disini banyak kenangan
yang tercipta diantara mereka, aku yakin kak Rike kemari untuk mengenang semua
itu … “
“Kasihan, sebegitu
dalamnya kesedihannya, mungkin sebaiknya kalian biarakan saja untuk sementara
ia datang ke café ini, mungkin dengan begitu kesedihannya sedikit demi sedikit
terobati …”
Ria menatapku dengan
pandangan yang aneh,
“Maaf mas, tapi tidak
mungkin kami membiarkan begitu saja mbak Rike berjalan-jalan dengan bebas untuk
saat ini … “
“Kenapa tidak ?”
Ria seperti bingung
untuk menjawab pertanyaanku,
“Karena .. karena mbak
rike harus menjalani pengobatan di rumah sakit jiwa, ia benar-benar mengalami
depresi berat, bahkan beberapa kali pernah mencoba untuk mebunuh dirinya, jadi,
bagaiamana mungkin kami membiarkan dia pergi ke luar begitu saja ?”
Entah aku harus
berkomentar apa, jadi … Rike saat ini
sedang … ??
Aku benar-benar merasa
kasihan, dia begitu mencintai kekasihnya hingga tidak mampu mempertahankan
kewarasannya, luka hatinya benar-benar parah.
Dan kemudian aku ingat
lagi pandangannya saat terakhir kami bertemu. Pandangan itu pernah aku miliki
beberapa hari yang lalu, pandangan penuh luka, pandangan yang berhasil aku
sembunyikan, aku tekan hingga menghilang tanpa orang lain ketahui, tapi rupanya
Rike begitu rapuh, hingga harus mengalah dan membiarkan pandangan luka itu
menguasai jiwa dan raganya …..
No comments :
Post a Comment